This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 24 Juni 2023

AL-ASY'ARI : TOKOH AHL AL-SUNNAH



Namanya Abu Al-Hasan al-Asy'ari (874-936 M).  Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abi Bisyr  Ishak bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa  bin Bilal bin  Abi Burdah Amir bin Abu Musa Abdullah bin Qais Al-Asy’ari. 


Sebutan al-Asy’ari  merupakan nisbat pada Asy’ar,  lelaki dari suku Qahthan  yang kemudian menjadi nama suku dan tinggal di Yaman.  Dari suku Asy’ar  ini,  lahir seorang sahabat terkemuka dan dikenal sangat alim sehingga termasuk salah satu ahli Fikih di kalangan sahabat Nabi saw yaitu Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ari (wafat 665 M).


Sejak masih muda, Abu Al Hasan al Ashari telah ditinggalkan oleh ayahnya.  Kemudian,  atas wasiat ayahnya,  Abu al-Hasan al-Asy’ari diarahkan untuk belajar dan mendapatkan sanad hadis kepada murid terbaik Imam Ahmad bin Hanbal,  bernama Syeikh Zakaria as-Saji. Guru hadisnya yang lain adalah Abu Khalaf al-Jahmi,Abu Sahl bin Sarah,  Muhammad bin Ya'kub Al-Muqri,  Abdul Rahman bin Khalaf al-Bashri. 


Dalam ilmu kalam ia belajar langsung kepada ayah tirinya Abu Ali al-Juba’i, seorang tokoh ulama Mu’tazilah sebagaimana yang ditulis Shalahuddin as-Shafadi dalam kitab al-Wagi bil Wafayat.


Pengaruh Mu’tazilah telah mewarnai hidupnya sampai  ia berusia 40 tahun. Namun setelah itu ia kembali kepada Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Dia melontarkan pertanyaan kritis yang membuat  al-Juba’i tak mampu memberikan jawaban yang konprehensif.. Karena tidak dapat mendapat jawaban yang memusakan dari ayah tirinya tersebut  dia mengadu kepada Allah. Allah memberinya hidayah kepadanya melalui mimpi. Dalam mimpinya ia bertemu dengan Rasulullah, dan kemudian Rasulullah bersabda : “Ikutilah sunnahku”. Mimpi itu terjadi berulang kali.


Dari situlah kemudian al-Asy’ari mulai melakukan kontemplasi selama lima belas hari. Dalam kontemplasinya, ia menulis al-Luma’ sebagai  pembelaan terhadap manhaj ahl al-sunnah wa al-jama’ah di rumahnya. Setelah lima belas hari, ia keluar rumahnya memproklamirkan  bahwa dirinya tidak lagi mengikuti akidah yang berdasarkan pemahaman Mu’tazilah, tapi mengikuti manhaj ahl al-sunnah wa al-jama’ah


Dalam menyebarkan ajaran akidah yang sesuai dengan sunnah Rasul, al-Asy’ari menulis buku yang sangat fundamental berjudul Maqalat al-Islamiyyin. Menurut Ibnu Asakir, Abu hasan al-Asy’ari  memiliki 90 karya tulis. Menurut Ibnu Katsir karya al-Asy’ari sebanyak 55 buah. Sedangkan menurut Tajuddin al-Subki, sang Imam memiliki 21 karya tulis. Namun, sampai saat ini hanya ada delapan karyanya yang tercetak.


Adz-Dzahabi menulis  bahwa  al-Asy’ari  tidak pernah mengkafirkan seorang muslim pun. Alasannya karena sama-sama ahl al-qiblah. Perbedaan  yang terjadi diantara mereka dalam hal pemahaman akidah  adalah dalam penjelasannya saja. Sehingga ketika  menjelang wafatnya, dia berwasiat  kepada murid-muridnya untuk tidak mengkafirkan sesama umat Islam. 


Bagi kalangan umat Islam Indonesia, Abu Hasan al-Asy’ari adalah rujukan dalam bidang akidah, seperti halnya Imam Syafi’i sebagai referensi dalam bidang fikih. . Akidah ahl al-sunnah wa al-jama’ah adalah corak pemahaman akidah yang dibawa oleh para ulama ke Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu. Untuk lebih mengetahui tentang bagaimana ajaran akidah menurut persfektif ahl sunnah wa al-jama’ah hendaklah merujuk kepada kitab-kitab yang ditulis oleh al-Asy’ari dan para murid dan penerusnya yang ikhlas dan jujur menulis dan menyampaikan ajaran akidah ini.

Dikutip dari berbagai sumber. 


Pematang Cengkering,  07 Juni 2023

Japar, M.Ag

SIAPAKAH ANDA?


 Siapakah.............?

**********************
*Siapakah orang yang sibuk?
Orang yang paling sibuk adalah orang yang tidak mengambil berat akan waktu solatnya
seolah-olah ia mempunyai kerajaan seperti kerajaan Nabi Sulaiman a.s.
***
Siapakah orang yang manis senyuman nya?
Orang yang mempunyai senyuman yang manis adalah orang yang ditimpa musibah lalu dia berkata “Inna lillahi wainna illaihi rajiuun.”
Lalu sambil berkata, “Ya Rabbi Aku redha dengan ketentuanMu ini”, sambil mengukir senyuman.
***
Siapakah orang yang kaya?
Orang yang kaya adalah orang yang bersyukur dengan apa yang ada dan tidak lupa akan kenikmatan dunia yang sementara ini.
***
Siapakah orang yang miskin?
Orang yang miskin adalah orang yang tidak puas dengan nikmat yang ada dan senantiasa menumpuk-numpukkan harta.
***
Siapakah orang yang rugi?
Orang yang rugi adalah orang yang sudah sampai usia pertengahan namun masih berat untuk melakukan ibadat dan amal-amal kebaikan.
***
Siapakah orang yang paling cantik?
Orang yang paling cantik adalah orang yang mempunyai akhlak yang baik.
***
Siapakah orang yang mempunyai rumah yang paling luas?
Orang yang mempunyai rumah yang paling luas adalah orang yang mati membawa amal-amal kebaikan di mana kuburnya akan di perluaskan sejauh mata memandang.
***
Siapakah orang yang mempunyai rumah yang sempit lagi dihimpit?
Orang yang mempunyai rumah yang sempit adalah orang yang mati tidak membawa amal-amal kebaikan lalu kuburnya menghimpitnya.
***
Siapakah orang yang mempunyai akal?
Orang yang mempunyai akal adalah orang-orang yang menghuni syurga kelak karena telah menggunakan akal sewaktu di dunia untuk menghindari siksa neraka.

TAWAKAL DALAM IBADAH HAJI

Bagi mereka yang pernah berhaji, mungkin dapat memaklumi bahwa dalam beribadah haji, tawakal pada Allah SWT sangat penting untuk dimiliki.


Imam al-Ghazali mendefinisikan tawakal sebagai, "Menyandarkan kepada Allah tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana, disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.”


Kepada seorang sahabat yang akan beribadah di masjid dan membiarkan untanya tidak terikat, Rasulullah SAW bersabda, ”Ikatlah untamu dan bertawakallah.” (HR Ibnu Hibban).


Hadis ini mengajarkan kita bahwa tawakal pada Allah SWT bukanlah sikap pasrah dan apatis, yang bermuara pada kemalasan dan kecerobohan. Tawakal adalah bersandar pada keputusan Allah SWT, setelah kita melaksanakan dengan baik semua hal yang sudah seharusnya dilakukan, sesuai dengan sunatullah dan ilmu yang terkait.

Kita berhaji untuk memenuhi undangan Allah SWT, dan sebagai tamu-Nya sudah sepatutnya kita bertawakal pada-Nya. Semua prosesi haji, apakah itu thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, lempar jumrah, serta aktivitas haji lainnya akan menuntut sikap tawakal para jamaah, yang direfleksikan dengan kesabaran dan keikhlasan dalam melaksanakannya.


Apalagi kalau kita ingat jumlah jamaah haji yang sangat banyak, kondisi iklim dan topografi yang tidak biasa kita hadapi, serta karakter dari masyarakat setempat dan jamaah haji dari negara lain, yang tidak selalu sesuai dengan karakter kita.



Di samping itu, para jamaah haji juga kerap menemui berbagai kejadian yang kadang sulit dijelaskan dengan rasionalitas umumnya manusia.

Makna tawakal dalam prosesi haji dan Idul Adha sejatinya sudah tercermin dalam kisah Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail yang melandasi sejarahnya. Bayangkan tawakalnya Nabi Ibrahim ketika membawa Siti Hajar dan bayinya, Ismail, ke tengah padang pasir yang tidak berpenduduk dan meninggalkan mereka berdua di sana (HR Bukhari: 3113, QS 14: 37).

Bayangkan tawakalnya Siti Hajar untuk menjalani semuanya. Bayangkan tawakalnya Nabi Ibrahim untuk siap ‘mengorbankan’ putranya tercinta, dan bayangkan kesabaran Ismail untuk siap ‘dikorbankan’ (QS 37: 102), dan bayangkan juga tawakalnya seorang Siti Hajar, seorang ibu yang rela anaknya ‘berkorban’.

Tawakal yang ketinggian kualitasnya susah dibayangkan dalam kerangka pemikiran manusia ‘modern’ saat ini. Kualitas tawakal seperti inilah yang dapat mengubah pribadi manusia, serta merombak sejarah manusia dan kemanusiaan.

Kisah tersebut juga mengajarkan agar jamaah haji, dan juga kita semua, untuk sabar dan ikhlas dalam ‘mengorbankan’ semua pernak-pernik keduniawian dan nafsu destruktif yang tidak diridhai oleh Allah SWT, sehingga kualitas tawakal kita dapat meningkat secara berkelanjutan.

Setelah melaksanakan ibadah haji dan Hari Raya Idul Adha, diharapkan kualitas tawakal para jamaah haji akan meningkat. Ketika kembali ke Tanah Air, mereka semua dapat lebih sabar dan ikhlas dalam menjalani lika-liku kehidupan ini, dan semakin mendekati Allah SWT dalam semua aktivitas kesehariannya.

Semoga. 

HIKMAH DIBALIK KESABARAN



Banyak kisah yang mengungkapkan hikmah di balik kesabaran seorang Muslim. Misalnya, kisah berikut yang terjadi pada era generasi sesudah para sahabat Nabi Muhammad SAW (tabiin).

Di Damaskus, Suriah, berdirilah Masjid at-Taubah. Masjid itu tersohor antara lain karena dikelola seorang tabiin yang saleh dan alim. Syekh tersebut hidup sederhana, sembari mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada penduduk setempat.

Suatu hari, datang seorang pemuda ke masjid tersebut. Tampak dari penampilannya, pemuda ini tergolong miskin. Dia tiba di Damaskus dalam rangka mencari ilmu (thalab al-'ilm). Tidak ada satu pun sanak famili atau kenalan di kota tersebut.

Sesudah hadirin majelis bubar, pemuda tadi meminta izin untuk bertemu sang syekh. "Wahai, imam. Saya pemuda miskin yang datang jauh-jauh dari luar Damaskus. Saya tidak punya siapa-siapa di kota ini. Namun, saya ingin berguru kepada engkau," katanya membuka pembicaraan.

"Karena itu, apakah engkau mengizinkan saya tinggal bersama engkau? Bolehkah saya tinggal di masjid ini, dan makan serta minum bersama keluarga engkau?" lanjut dia.

Singkat cerita, syekh tersebut setuju. Maka pemuda ini tinggal bersamanya.

Tiga bulan berlalu. Pemuda tadi mendapati kebiasaan zuhud syekh yang tabiin ini. Bila ada rezeki, syekh dan keluarganya makan rutin dua atau tiga kali sehari. Mereka berpuasa bila sedang kekurangan makanan. Pemuda itu pun mengikuti irama kehidupan sang syekh dan keluarga.

Bagaimanapun, kali ini agak berbeda. Sudah tiga hari berturut-turut syekh berpuasa. Mungkin karena sudah kebiasaan, tubuh syekh tersebut tidak terlalu kelaparan. Namun, pemuda tadi tidak kuat. Dia sangat lapar.

Saking laparnya, dia terpaksa mengikat perutnya. Matanya berkunang-kunang. Kepalanya terasa berat.

Saat itulah datang bisikan jahat. Terlintas di dalam benaknya, dirinya kini sudah diperbolehkan secara syariat untuk mencuri makanan sekadarnya.

Bakda isya, pemuda itu melancarkan aksinya. Dia memanjat dinding luar Masjid at-Taubah, yang menempel pada dinding rumah-rumah warga.

Tidak jadi mencuri

Rumah pertama yang dihampirinya hanya diisi beberapa remaja putri. Dari celah balik atap, pemuda itu mengintip ke dalamnya, tetapi langsung memalingkan wajah dari para perempuan itu. Sebab, tujuannya mencuri makanan. Bukan yang lain-lain.

Dia terus merangkak ke atap rumah berikutnya. Dia mencium aroma makanan, sop terung yang baru saja dimasak. Pelan-pelan, pemuda ini meluncur turun dari atap, lalu masuk ke dalam dapur. Di tengah kegelapan, dia membuka tutup panci, kemudian mengambil terung dari dalamnya.

Saat sedang mengunyah, hampir saja dia menelan terung itu. Tiba-tiba, dirinya dikecam rasa takut kepada Allah. Dia berpikir, "Setan telah berhasil menggodaku tiga hal. Pertama, dia menyuruhku mencuri; lalu melihat perempuan yang bukan mahram, dan memasuki rumah orang lain tanpa izin."

Seketika, pemuda ini memuntahkan terung tadi. Dia lantas mengendap-endap keluar dari dapur itu.

Sesampainya di masjid, dia menemukan sang syekh sedang menerima tamu, yakni seorang perempuan yang bercadar dan dua orang pendampingnya. Pemuda itu tampak tidak terlalu peduli. Perutnya masih sangat lapar, sehingga dia hanya terduduk lemas di dinding, agak jauh dari mereka.

Tiba-tiba, syekh memanggilnya, "Wahai, pemuda. Kemarilah."

"Apakah kamu sudah menikah?" tanya syekh lagi.

"Belum, wahai syekh," jawab pemuda itu, masih dengan wajah sayu.

"Apakah kamu mau menikah?" tanya gurunya itu.

Si pemuda tidak menjawab sepatah kata pun. Pertanyaan itu diulangi sang syekh tiga kali berturut-turut, sehingga muridnya itu "terpaksa" mengeluh.

"Wahai, syekh. Saya datang kepadamu sebagai pemuda yang tidak punya apa-apa. Saya hidup bersama keluargamu. Apa yang engkau makan, itulah yang kumakan. Jika engkau berpuasa, saya pun puasa. Tapi akhir-akhir ini saya benar-benar terbatas. Saya seharian belum makan sama sekali. Bagaimana mungkin saya menikah? Dengan apa saya nafkahi istri saya nanti?" katanya.

"Wahai pemuda. Perempuan yang datang kepada saya ini adalah janda. Dia baru saja menyelesaikan masa iddah. Dia takut akan fitnah, sehingga meminta saya untuk menikahkannya dengan seorang pria," kata sang syekh.

"Karena itu, saya ingin kamu menikah dengannya. Kamu tidak perlu khawatir. Perempuan ini memiliki rumah dan hidup berkecukupan," lanjut dia.

Syekh kemudian meminta persetujuan dari perempuan tadi, yang lantas menyanggupi tawarannya. Pemuda itu pun mengangguk setuju. Maka sang syekh memanggil beberapa orang sebagai saksi. Dia juga mengambil satu buah kendi sebagai mas kawin pemuda tadi untuk sang janda.

Akhirnya, menikahlah mereka. Setelah selesai ijab kabul, syekh pun menyuruh pemuda tadi pergi.

"Pergilah ke rumah istrimu. Kalian berdua kini telah suami-istri," ucap syekh sembari memberi selamat dan mendoakan kebaikan.

Maka pasangan itu berjalan menuju rumah tujuan. Dia melewati satu rumah yang tadinya hampir disatroni si pemuda. Tiba di rumah kedua, perempuan itu mempersilakan suami barunya tersebut masuk.

"Silakan," katanya dengan lembut.

Pemuda itu terkejut karena inilah rumah yang tadi dimasukinya tanpa izin.

"Suamiku, tadi kudengar engkau belum makan sama sekali seharian ini. Duduklah di sini. Aku sudah memasak sup terung di dapur," kata sang istri.

Tak lama, perempuan ini sedikit teriak. Dia terkejut karena mendapati betapa berantakan keadaan dapurnya kini.

Dengan tenang, pemuda ini memanggil istrinya itu, "Kemarilah, istriku."

Maka diceritakanlah kronologi sesungguhnya. Awalnya ia berniat mencuri karena lapar, hingga akhirnya meninggalkan perbuatannya itu --dengan memuntahkan terung ke lantai.

"Wahai suamiku. Engkau telah meninggalkan perbuatan buruk karena sup ini bukan milikmu. Tapi kini Allah telah menggantinya dengan yang lebih baik. Bukan hanya sup ini, tetapi juga seisi dapur ini, rumah ini, dan aku yang memiliki rumah ini sekarang menjadi milikmu," kata perempuan cantik ini