This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 25 Juni 2023

HUKUMNYA SUJUD TERLALU LAMA

Pertanyaan:

Bagaimana hukumnya andaikan memperlama sujud seperti lamanya tasyahud?


Jawaban:

Batal salatnya, karena sujud termasuk rukun yang pendek (tidak lama), maka tidak boleh dibuat lama.


Referensi:

قوله واكمله الزيادة على ذلك- الى ان قال- ولو طوله عن   الدعاء الوارد فيه بقدر اقل  التشهد بطلت الصلاة -  الى ان قال - وانما بطلت الصلاة بتطويلهما لانهما ركنان قصيران فلا يطولان

(Ungkapan mushonnif : dan paling sempurnanya sujud adalah menambahi dari yang disebutkan itu).…namun andaikan memanjangkannya melebihi dari doa yang diterangkan oleh hadis padanya dengan kadar minimalnya tasyahud, maka salatnya batal.   ..... batalnya salat sebab memanjangkan i'tidal dan sujud adalah karena keduanya merupakan dua rukun yang pendek maka tidak boleh dipanjangkan).


Sumber:

Hasyiyah al-Bajuri 'ala Fathul Qorib juz 1 halaman 200.

AHAD



Kata Ahad biasa diterjemahkan dengan esa.  Kata ini ditemukan dalam al-Quran sebanyak 53 kali,  tetapi hanya sekali digunakan sebagai sifat Allah.  Ini mengandungi isyarat tentang keesaa-Nya yang sedemikian murni,  hingga sifat  Ahad yang menunjuk kepada-Nya hanya sekali dalam al-Quran,  dan hanya ditujukan kepada-Nya semata, yaitu QS. al Ikhlas : 122. 


Kata Ahad  dalam QS al-Ikhlas itu, mengandung arti bahwa  Allah swt memiliki sifat-sifat tersendiri yang tidak dimiliki oleh selain-Nya.


Dari segi bahasa, kata ahad walaupun berakar sama dengan wahid,  Tetapi masing-masing memiliki makna dan penggunaan tersendiri. kata Ahad hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak dapat menerima penambahan,  baik dalam benak apa lagi dalam kenyataan, karena itu kata ini ketika berfungsi sebagai sifat,  tidak termasuk dalam rentetan bilangan, berbeda halnya dengan wahid (satu). Anda dapat menambahnya sehingga menjadi dua,  tiga,  dan seterusnya, walaupun penambahan itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya.


Allah memang disifati juga dengan kata Wahid,  seperti antara lain dalam firman-Nya :  “Tuhan-Mu  adalah Tuhan yang Wahid, tiada Tuhan selain Dia. Dia yang Maha Pengasih  lagi Maha Penyayang.” QS. al-Baqarah : 163. 


Sementara ulama berpendapat bahawa kata Wahid dalam ayat ini menunjukkan kepada keesaan Zat-Nya, disertai dengan keragaman sifat-sifat-Nya.  Bukankah Dia Maha Pengasih,  Maha Penyayang,  Maha Kuat,  Maha  Tahu,  dan sebagainya,  sedangkan kata Ahad dalam surah al-Ikhlas mengacu kepada keesaan Zat-Nya saja,  tanpa memperhatikan keragaman sifat sifat tersebut.


Keesaan Zat mengandung pengertian bahwa Allah tidak terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian,   karena bila Zat yang Maha Kuasa itu terdiri dari dua unsur atau lebih - betapapun kecilnya unsur atau bagian itu- Maka ini berarti dia membutuhkan unsur atau bagian itu, atau dengan kata lain unsur/ bahagian itu merupakan syarat bagi wujud-Nya.  al-Quran menegaskan bahwa:  “Tidak ada sesuatu pun yang seperti dengannya,  dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. asy-Syura : 11).


Keragaman dan bilangan lebih dari satu adalah substansi setiap makhluk, bukan ciri Khaliq.  Itulah sebahagian makna keesaan dalam zat-Nya.


Adapun keesaan sifat-Nya, maka itu antara lain berarti bahwa Allah memiliki sifat yang tidak sama dengan substansi dan kapasitasnya dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa, kata yang digunakan untuk menunjuk sifat tersebut sama.


Sementara ulama memahami lebih jauh keesaan sifat-Nya itu dalam arti bahwa Zat-Nya sendiri merupakan sifat-Nya.  Demikian mereka  memahami Keesaan secara murni.   mereka menolak adanya sifat bagi Allah,  walaupun mereka tetap yakin dan percaya bahwa Allah Maha mengetahui,  Maha Pengampun,  Maha Penyantun,  dan lain-lain,  yang secara umum dikenal adalah sembilan puluh sembilan  itu.  Para ulama itu yakin tentang hal tersebut,  tetapi mereka menolak menamainya sifat-sifat. Lebih jauh,  penganut faham ini berpendapat bahwa sifatnya merupakan satu kesatuan,  sehingga kalau dengan Tauhid zat,  dinafikan segala unsur keterbilangan pada zat-Nya,  betapapun kecilnya unsur itu,  maka dengan Tauhid sifat, dinafikan segala macam dan bentuk ketersusunan dan keterbilangan bagi sifat-sifat Allah. 


Bagian ketiga dari keesaan Allah adalah keesaan dalam perbuatan-Nya.  Ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada di dalam alam raya ini,  baik sistem kerjanya,  maupun sebabkan wujudnya,  kesemuanya adalah hasil perbuatan Allah semata.  Apa yang dikehendakinya terjadi,  dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.   Tidak ada daya untuk memperoleh manfaat,   tidak pula kekuatan untuk menolak mudharat kecuali bersumber dari Allah swt. . Tetapi ini bukan bereati bahwa Allah berlaku sewenang-wenang,  atau bekerja tanpa sistem yang ditetapkan-Nya. keesaan perbuatannya dikaitkan dengan hukum-hukum,  takdir atau sunnatullah yang ditetapkannya. 


Keesaan keempat,  adalah keesaan beribadah. Kalau ketiga keesaan sebelumnya,  merupakan hal-hal yang harus diketahui dan diyakini,  maka keesaan keempat ini merupakan perwujudan dari makna ketiga keesaan di atas. 


Ibadah beraneka ragam dan bertingkat-tingkat.  Salah satu ragamnya yang paling jelas adalah amalan tertentu yang ditetapkan cara dan/ atau kadarnya langsung oleh Allah melalui rasul-Nya,  dan  yang secara popular dikenal dengan istilah ibadah mahdhah/ ibadah murni. 


Ibadah dalam pengertiannya yang umum mencakup segala macam aktivitas yang dilakukan demi/ karena Allah.  Mengesakan Allah dalam beribadah menuntut manusia untuk melaksanakan sesuatu demi/ kerana Allah,  baik sesuatu itu dalam bentuk ibadah mahdhah,  maupun selainnya. Walhasil, keesaan Allah dalam beribadah adalah dengan melaksanakan apa yang tergambar dalam firman-Nya : “ Katakanlah: “ sesungguhnya solatku,  ibadahku, hidup dan matiku,   kesemuanya karena Allah,   Pemelihara seluruh alam.” QS. al-An’am : 162. Wallahu a’lam.


Sumber : Ensiklopedi Alquran.


Sabtu, 24 Juni 2023

FI SABILILLAH SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT



Zakat merupakan bagian yang sangat penting dalam syari’at islam. Bukan hanya sebagai bagian daripada ibadah yang manfaatnya untuk individu yang mengeluarkan zakat, tetapi lebih daripada itu, zakat  memberikan kemanfaatan secara kolektif bagi orang-orang yang berada dilingkungan yang menjalankan sistem zakat. Dalam Al Quran, kata zakat selalu disandingkan dengan perintah shalat. 

Alquran mengatur tentang orang-orang yang berhak menerima zakat. Secara spesifik mengemukakan pihak-pihak yang dapat menerima zakat.  Dalam surah at-Taubah ayat 60 Allah berfirman:


“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir,  orang-orang miskin,  pengurus-pengurus zakat,  para mualaf yang dibujuk hatinya,  untuk memerdekakan budak,  orang-orang yang berhutang,  untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,  sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah,  dan Allah Maha Pengasih dan Maha Bijaksana”.  


Dari ayat tersebut,  salah satu yang berhak menerima zakat adalah fi sabilillah.  Menurut Ibnu Atsir ,  secara bahasa lafaz Sabil memiliki arti jalan. Dengan demikian,   sabilillah secara bahasa dapat diartikan sebagai jalan Allah. Pada dasarnya lafadz fisabilillah bersifat umum  mencakup segala bentuk tindakan   yang secara ikhlas  ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah,  baik mengerjakan yang wajib,  sunnah,  maupun ketaatan yang lain.  Akan tetapi,  ketika lafaz sabilillah dimutlakkan,  yang dimaksud adalah jihad.


Sabilillah sebagai penerima zakat menurut perspektif fikih.


Menurut Wahbah Zuhaili, sabilillah adalah para mujahid yang berperang yang tidak mempunyai hak dalam honor sebagai tentara,  karena jalan mereka adalah mutlak berperang. Mereka diberi zakat karena telah melaksanakan misi penting mereka dan kembali lagi. Menurut jumhur ulama, mereka diberi zakat sekalipun orang kaya,  Karena yang mereka lakukan merupakan kemaslahatan bersama.  Adapun orang yang mempunyai honor tertentu  tidak diberi zakat.  kerana,  orang yang memiliki rezeki rutin yang mencukupi dianggap sudah cukup (Fiqh Islam wa Adillatuhu jilid 3 : 2007 h. 286)

Jumhur ulama dalam mazhab-mazhab bersepakat bahwa tidak boleh mendistribusikan zakat kepada selain asnaf yang delapan. Dengan demikian tidak dibenarkan kehidupan distribusian zakat seperti untuk membangun masjid jembatan, ruangan, irigasi 


Kata “innama” dalam ayat tersebut Berfungsi untuk membatasi dan menetapkan. Ayat tersebut menetapkan apa yang tersebut dan menafikan selainnya.  Oleh karena itunya,Tidak boleh mendistribusikan zakat kepada ibadah-ibadah yang tidak tersebutkan di dalam ayat tersebut, karena sama sekali tidak dapat di hak untuk memilikinya. 


Akan tetapi, Al-Kasani (seorang ulama bermadzhan Hanafi) dalam Al-Bada’i menafsirkan bahwa sabilillah (jalan Allah) Yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah semua macam ibadah. dengan demikian, mencakup semua orang yang berusaha di jalan Allah dan kebaikan, jika dia membutuhkan. Kata Sabilillah adalah umum dalam kepemilikan, Yaitu mencakup pembangunan masjid dan semisalnya, sebagaimana yang telah disebutkan. Sebagian ulama Hanafiah menafsirkan kalimat Sabilillah dengan mencari ilmu, sekalipun yang mencari ilmu tersebut kaya.  Anas dan Hasan berkata, “Zakat tidak diberikan untuk pembangunan jembatan dan jalan. Itu merupakan Sedekah Yang lampau.” Malik berkata, “ jalan Allah (sabilillah)  itu jumlahnya banyak.Akan tetapi aku tidak mengetahui perbedaan pendapat bahwa maksud Sabilillah dalam ayat ini adalah berperang.” (Fiqhul Islam wa Adillatuhu (terj) : Jilid 2 h. 287-288).

Menurut Dr.  Yusuf  Qaradhawi, bahwa  di antara ulama dulu sekarang,  ada yang meluaskan arti sabilillah , Tidak hanya khusus pada jihad dan yang berhubungan dengannya, tetapi ditafsirkannya pada semua hal yang mencakup kemaslahatan, taqarrub dan perbuatan-perbuatan baik sesuai dengan penerapan asal dari kalimat tersebut. 

Di antara pendapat ini, adalah apa yang diingatkan oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya, bahwa zahir lafaz dalam firman Allah wa fisabilillah tidak wajib mengkhususkan artinya pada orang yang berperang saja. Kemudian ia berkata: "maka terhadap arti ini Imam Qaffal mengutip dalam tafsirnya dari sebagian fuqaha' bahwa mereka itu memperkenankan menyerahkan zakat pada semua bentuk kebajikan, seperti mengurus mayat, mendirikan benteng, meramaikan masjid. Karena sesungguhnya firman-Nya wafi sabilillah bersifat umum meliputi semuanya. 

Syekh Jamaludin Al Qosimi  menerangkan dalam tafsirnya, apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi bahwa zahirnya lafaz tidak mewajibkan mengkhususkan kepada orang yang berperang. Ia mengutip pula kutipan Imam Qaffal dari sebagian fuqaha' tentang masalah itu kemudian mengemukakan pendapat pengarang buku Taj, bahwa setiap jalan yang menuju ridho Allah adalah jalan yang baik, dan termasuk fisabilillah. Kemudian tidak mengutip yang lain dan tidak memberikan komentar apa-apa lagi titik ini menunjukkan adanya kesesuaian pendapat atau tidak adanya selisih paham. (Fikih Zakat (terj) h. 619-626).


Menurut Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA, asnaf  fisabilillah sekarang ini lebih tepat  disalurkan kepada penuntut ilmu. Kerana menurut beliau,  penuntut ilmu sesuai hadis rasul dalam orang yang sedang berjihad fisabilillah.  kerana dengan ilmu itu dia dapat membela dan meninggikan Islam  dan martabat umat Islam.  apa lagi umat Islam masa sekarang ini sangat ketinggalan dalam pendidikan dibandingkan dengan umat lain,  karena itu perlu diprioritaskan zakat untuk menopang/ memberi beasiswa kepada pelajar dan mahasiswa yang sangat memerlukan untuk menyelesaikan studinya.(Butir-butir Fiqh Zakat : 2007 h. 90-91). 


Pem, Cengkering, 6 Juni 2023

Japar, M.Ag

TA'ALUUQ SIFAT MA'ANI

 

A. Ta’alluq Sifat – Sifat Ma’âni

Ta’alluq menurut bahasa ialah; bergantung, berkaitan, bertalian berhubungan atau tercapai. Ta’alluq menururt istilah dalam kajian ilmu tauhid, khususnya sifat-sifat ma’âni adalah tentang sifat atas suatu pekerjaan setelah sifat itu berdiri pada zat. Ada beberapa macam ta’alluq, yaitu :

1.Ta’alluq sifat qudrat dan irâdat

Ta’alluq keduanya, kepada hal-hal yang jaiz atau yang mumkin saja, tidak ta’alluq kepada hal-hal; yang wajib dan tidak juga kepada hal-hal yang mustahil. Jika kedua sifat ini ta’alluq kepada yang wajib, maka akan terjadi tahsîl al hasil. Yaitu, mengadakan yang memang sudah ada. Jika ta’alluq kepada yang memang wajib ada, maka akan bertukar hakekat yang wajib kepada jaiz. Jika kedua sifat ini mengadakan yang mustahil ada, maka akan bertukar yang mustahil, menjadi jaiz. Ini semua tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, kedua sifat ini, hanya berta’alluq kepada yang jaiz, sebagai ta’alluq ta’tsir (memberi bekas/memberi efek), dengan perincian bahwa, sifat qudrat berkaitan dengan mengadakan dan meniadakan sesuatu, sedangkan sifat irâdat berkaitan dengan menentukan dan menghendaki sesuatu yang sesuai dengan pilihan-Nya.

2. Ta’alluq sifat sama’ dan bashar

Ta’alluq kedua sifat ini, kepada segala yang maujud (yang ada), yaitu hal-hal yang wajib dan yang jaiz, tidak ta’alluq kepada hal-hal mustahil, karena mustahil itu memang tidak ada wujudnya. Nama ta’alluq kedua sifat ini adalah; ta’alluq inkisyâf, artinya terbuka bagi Allah Ta’ala segala yang maujûd. Hanya saja inkisyâf sama’, berbeda dengan inkisyâf bashar, karena inkisyâf sama’ berarti tersingkap atau keterbukaan segala yang maujûd melalui sama’ Allah Ta’ala , sedangkan inkisyâf bashar adalah, keterbukaan segala yang maujûd melalui bashar Allah Ta’ala. Tegasnya, segala yang berwujud, bersuara dan berbunyi, diketahui oleh Allah Ta’ala, melalui sama’ dan bashar-Nya, secara wajib pada hukum akal bukan jaiz pada hukum akal.

3. Ta’alluq sifat ‘ilmu dan kalâm

Kedua sifat ini, ta’alluq kepada hukum akal yang tiga, yaitu ta’alluq kepada hal yang wajib, kepada hal yang jaiz dan kepada hal yang mustahil. Maksudnya adalah, ‘ilmu Allah Ta’ala mengetahui segala hal yang wajib, hal yang mustahil dan hal yang jaiz. Tidak ada yang tertutup atau luput dari ‘ilmu-Nya. Ta’alluq sifat ini dinamakan ta’alluq inkisyâf juga, sedangkan sifat kalâm, dinamakan ta’alluqnya dengan ta’alluq dalalah, artinya menunjukkan atau menfirmankan segala hal yang wajib, mustahil dan jaiz adanya.

4. Sifat hayât

Sifat ini tidak ta’alluq kepada salah satu dari hukum akal yang tiga, karena sifat ini, hanya menjadi syarat sah bagi berdirinya sifat-sifat ma’âni yang enam itu kepada Zat.

B. Ta’alluq Sifat Ma’âni Satu Persatu :

1. Ta’alluq sifat qudrat
Yaitu, hubungan atau kaitan sifat ini dengan ciptaan atau perubahan sesuatu yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala. Sasaran ta’alluqnya adalah segala yang jaiz atau segala yang mumkin, yaitu :

a. Segala mumkin yang belum ada

Sedangkan bekas atau pengaruh ta’alluq qudrat kepada mumkin yang belum ada, adalah :

1) Menetapkan yang mumkin itu, dalam keadaan “tidak ada” selama waktu yang dikehendaki

2) Berubahnya yang mumkin itu, dari tiada menjadi ada.

b. Segala mumkin yang sudah ada.
Sedangkan bekas atau pengaruh ta’alluq qudrat kepada mumkin yang sudah ada, adalah :

1) Tetapnya yang mumkin itu, dalam keadaan “ada”, selama waktu yang dikehendaki
2) Berubahnya yang mumkin itu, dari satu kondisi kepada kondisi yang lain

3) Kembalinya yang mumkin itu, menjadi tidak ada
Dari keterangan diatas, maka keta’alluqan qudrat kepada segala yang mumkin, dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu

1.1. Kelompok ta’aluq sulûhi qadîm (patut dalam azali)
Yaitu, kelayakan ta’alluq qudrat Allah Ta’ala, kepada segala yang mumkin pada azali dan kelayakannya adalah qadîm, karena qudrat itu bersifat qadîm. Oleh sebab itu, dinamakan ta’alluq sulûhi, dengan ta’alluq sulûhi qadîm.

1.2 Kelompok ta’alluq tanjîzi hadits

Yaitu, ta’alluq qudrat Allah Ta’ala secara langsung kepada segala yang mumkin, sehingga segala yang mumkin tadi mengalami perubahan, yakni menjadi ada atau kembali menjadi tidak ada atau berubah dari satu keadaan menjadi keadaan yang lain. Oleh sebab itu, ta’alluq ini disebut dengan ta’alluq tanjîzi hadis.

1.3 Kelompok ta’alluq qabdlah

Yaitu, segala bentuk perubahan pada segala yang mumkin, berada dalam qabdlah (genggaman) qudrat Allah Ta’ala, dalam arti bahwa, tidak terjadi suatu perubahan pada diri sesuatu yang mumkin, kecuali dengan ta’alluq tanjîzi qudrat kepada suatu yang mumkin.
Akhirnya, ta’alluq qudrat Allah Ta’ala kepada segala yang mumkin, ada tujuh macam, yaitu :

ad. 1.1 Ta’alluq sulûhi qadîm, yaitu kelayakan ta’alluq qudrat pada azali, kepada segala yang mumkin.

ad. 1.2 Ta’alluq qabdlah kepada mumkin ma’dum ( tidak ada ), yaitu ta’alluq qudrat kepada mumkin, sebelum yang mumkin itu diciptakan.

ad. 1.3 Ta’alluq tanjîzi kepada yang mumkin ma’dum, yaitu ta’alluq qudrat kepada yang mumkin ma’dum, untuk diciptakan, sehingga menjadi ada ia.

ad. 1.4 Ta’alluq qabdlah kepada mumkin maujûd ( yang sudah ada ), yaitu, mumkin yang sudah maujûd itu, tidak mengalami perubahan. Kecuali dengan ta’alluq qudrat secara tanjizi telah berlaku padanya, sehingga berubah.

ad. 1.5 Ta’alluq tanjîzi kepada mumkin maujûd, yaitu ta’alluq qudrat kepada yang mumkin maujûd, untuk dirubah menjadi kembali tidak ada.

ad. 1.6 Ta’alluq qabdlah kepada yang mumkin sudah ditiadakan, yaitu mumkin yang sudah ditiadakan, berada dalam qabdah qudrat, sebelum dibangkitkan kembali nanti dari kubur.

ad. 1.7 Ta’alluq tanjîzi kepada yang mumkin sudah ditiadakan, yaitu ta’alluq qudrat Allah Ta’ala kepada yang mumkin sudah ditiadakan, untuk dibangkitkan kembali pada hari pembalasan, yakni ; hari kiamat.

2. Ta’alluq sifat Irâdat

Yaitu, ketentuan Allah Ta’ala terhadap yang mumkin, dengan berkeadaan dari salah satu dua keadaan yang bertentangan. Misalnya si A, bila lahir boleh menjadi tinggi dan boleh menjadi pendek. Kekhususan bagi si A, yang lahir sebagai orang yang pendek, termasuk tugas dari ta’alluq irâdat. Setelah itu ta’alluq qudrat tanjîzi menciptakan si A betul-betul menjadi pendek. Demikian juga halnya ketentuan warna kulit, daerah dan nasab yang terlebih dahulu ditentukan oleh sifat irâdat. Untuk selanjutnya diciptakan oleh qudrat. Oleh sebab itu, ta’alluq irâdat, terbagi dua kelompok, yaitu :

2.1. Kelompok ta’alluq sulûhi qadîm

Yaitu, kelayakan ta’alluq irâdat kepada segala yang mumkin, untuk mengkhususkan yang mumkin tersebut, agar mempunyai kondisi tertentu sebelum yang mumkin itu maujud. Kelayakan ta’alluq irâdat kepada segala yang mumkin adalah qadîm , karena bersifat qadîm, maka ta’alluq sulûhi bagi irâdat, bersifat qadîm juga.

2.2. Kelompok ta’alluq tanjizi qadîm

Yaitu, pengkhususan Allah Ta’ala secara langsung terhadap suatu yang mumkin, berkeadaan dengan suatu keadaan tertentu, sebelum yang mumkin itu diciptakan. Kekhususan yang demikian juga bersifat qadîm, karena Allah Ta’ala mengkhususkan ( menentukan ) suatu keadaan kepada yang mumkin dengan irâdat-Nya yang qadîm, maka ta’alluq tanjîzi bagi irâdat juga bersifat qadîm.
Dengan uraian ini, dapat diketahui bahwa, segala yang mumkin bila adanya berkeadaan dengan suatu keadaan adalah, merupakan penjelmaan dari ta’alluq irâdat yang tanjîzi. Sehingga sebahagian ulama Tauhid, mengistilahkan bahwa; ta’alluq tanjîzi bagi qudrat adalah, “ qada’ ” dan penjelmaan yang mumkin ke alam nyata sesuai dengan ta’alluq tanjîzi irâdat, dinamakan dengan “qadar”.

Iradat Menurut Ahlussunnah :

Irâdat (kehendak / ketentuan Allah ) tidak mesti sejalan dengan perintah dan ridhoNya. Untuk itu ada empat macam :

1. Kadang dikehendaki Allah, disuruhNya dan diridhoiNya. Seperti iman orang yang diketahui Allah keimanannya, Misalnya, Abu Bakr Siddiq.
2. Kadang tidak dikehendakiNya, tidak diperintahNya dan tidak diridhoiNya. Seperti kafirnya Abu Bakr.
3. Kadang dikehendakiNya, tidak diperintahNya dan tidak diridhoiNya. Seperti kafirnya orang-orang yang diketahui Allah, tidak akan beriman. Misalnya, Fir’aun, Qarun dan orang-orang bermaksiat
Kadang diperintahNya, tetapi tidak dikehendakiNya. Seperti berimannya Fir’aun, Qarun dan lain-lain.

3. Ta’alluq sifat sama’

Para ulama mutakallimin, berbeda pendapat tentang objek ta’alluq sifat sama’ (yang dita’alluqi oleh sama’). Sebahagian mereka menyatakan, bahwa, sama’ hanya ta’alluq kepada yang didengar saja, yaitu ; suara dan bunyi. Pendapat ini sangat logis, oleh karena adanya perbedaan pendapat ini, maka merekapun berbeda pendapat pula dengan apa yang didengar oleh nabi Musa as, dahulu. Sebahagian ulama menyatakan , yang telah didengar oleh nabi Musa as, adalah kalâm nafsi, sementara yang lain menyatakan adalah kalâm lafzhiy.
Selanjutnya sifat sama’ ini, mempunyai tiga segi ta’alluq, yaitu :

a. Ta’alluq sulûhi qadîm yaitu, ta’alluq sama’ dengan kita, sebelum kita diciptakan.
b. Ta’alluq tanjîzi qadîm yaitu, ta’alluq dengan Zat Allah Ta’ala
c. Ta’alluq tanjîzi hadits yaitu, ta’alluq sama’ kepada kita, setelah kita diciptakan.

4. Ta’alluq sifat bashar

Yaitu, ta’alluq kepada yang maujûd (telah ada), baik berupa zat, maupun sifat dari suatu yang mumkin. Bashar juga mempunyai ta’alluq yang sama dengan ta’alluq sama’.

5. Ta’alluq sifat ilmu

Sifat ilmu, hanya memiliki dua segi ta’alluq, yaitu :
a. Ta’alluq sulûhi qadîm

Yaitu, kelayakan atau kepatutan sifat ilmu ta’alluq kepada
segalanya; (wajib, mustahil dan jaiz), dengan berbagai keadaan tanpa perantara, tanpa mumkin ada pada azali dan kelayakannya tingkatan pengetahuan, (waham, syak, Zhan dan yakin ) dan tanpa didahului oleh ketidaktahuan (jahil). Oleh karena itu, ilmu bersifat qadîm. Maka kelayakan ilmu ta’alluq kepada segala-galanya adalah; qadîm, maka ta’alluq ini disebut, dengan ta’alluq sulûhi qadîm.

b. Ta’alluq tanjîzi qadîm

Yaitu, ta’alluq ilmu Allah kepada segala-galanya secara langsung, dengan kondisi yang telah disebutkan. Mustahil ilmu Allah Ta’ala yang maha tahu atas segala sesuatu, didahului oleh ketidaktahuan (jahil). Oleh sebab itu , ta’alluq tanjîzi ilmu Allah itu juga qadîm, dengan arti kata, Allah Ta’ala tdak pernah tidak tahu; pada suatu ketika; masa yang lalu, sekarang atau yang akan datang. Karena ilmu-Nya meliputi segala waktu dan tempat.



6. Ta’alluq sifat kalâm

Sebelum menjelaskan ta’alluq sifat kalâm, terlebih dahulu akan dijelaskan macam-macam kalâm, yaitu :
a. Kalâm Nafsi
b. Kalâm Lafzhiy

Kalâm Nafsi adalah, kalâm yang tidak mempunyai huruf dan tidak mempunyai suara atau bunyi. Manusia juga mempunyai kalâm nafsi yaitu ; kata jiwa, ide dan kata hati atau perasaan yang belum diutarakan atau belum diucapkan, ketika belum menjadi alat komunikasi.
Kalâm Lafzhiy adalah ; lafazh–lafazh yang mengibaratkan kalâm nafsi, yakni lafazh yang diucapkan atau perwujudan dari kalâm nafsi, yang sama dengannya dan tidak serupa dengan keberadaannya, karena kalâm Lafzhiy telah berhuruf dan berbunyi.

Memahami kedua kalâm ini, maka Al-Qur'an dalam arti kalâm nafsiy adalah; sifat Allah Ta’ala yang qadîm. Sedangkan Al-Qur'an dalam arti kalâm Lafzhiy yang ada didalam mushaf adalah hadits. Inilah yang disampaikan Jibril kepada Muhammad SAW, tertulis dan tersusun. Al-Qur'an inilah, yang haram disentuh tanpa suci, dan Al-Qur'an ini pula, yang sering dibaca dan ada pahalanya. Maka ia ta’alluq kepada yang wajib, mustahil dan jaiz, sebagai ta’alluq dalalah. Ta’alluq kepada yang wajib, mustahil dan jaiz disebut dengan ta’alluq tanjîzi qadîm. Sedangkan ta’alluq sifat kalâm kepada hal yang jaiz, ada tiga macam, yaitu :

a. Ta’alluq tanjîzi qadîm, yaitu ta’alluq kalâm, kepada hal jaiz dari segi ada atau tidaknya.

b. Ta’alluq tanjîzi hadits, yaitu ta’alluq kalâm, kepada hal yang jaiz itu dari segi hukum yang jaiz pula, untuk menjadi pegangan.

c. Ta’alluq sulûhi qadîm, yaitu ta’alluq kalâm kepada hal yang jaiz, dari segi ada atau tidak adanya, maupun dari segi hukum kejaizannya (kebolehan) sebagai ta’alluq kelayakan.

Demikianlah ta’alluq sifat ma’âni, yang telah diuraikan satu-persatu, kecuali sifat hayât. Sifat ini tidak mempunyai ta’alluq, sebab ia hanya menjadi syarat sah bagi sifat-sifat ma’âni, yang lain untuk berdiri (tetap ada) pada zat Allah Ta’ala. 

Referensi  : Berbagai sumber